Sunday, June 7, 2015

FINAL SEPULUH MENIT

Oleh Darmanto Simaepa

Bagi saya, pertandingan final liga champion edisi 2015 baru dimulai pada menit ke lima puluh lima. Meskipun kaki Mascherano gemetar dan aliran darah Busquet berdesir sedikit lebih kencang sehingga pada satu-dua sentuhan pertama Barca terlihat gugup dan tegang, saya yakin bahwa pertandingan di Berlin itu adalah sebuah peragaan, bukan pertandingan ‘sesungguhnya’. Saya bilang ke teman kost yang seorang Juventini—ia menyimpan foto bareng Alex Del Piero—bahwa Si Kuping Lebar telah diantar ke Nou Camp sehari setelah pertandingan semifinal kedua. Saat itu saya tidak berkelakar atau ingin ditertawakan, apalagi menyepelekan Juventus. Saya hanya sedang berusaha tidak terlalu gembira. Juve adalah tim yang sangat bagus, tapi dengan mengingat sejarah, DNA Madrid jelas lebih terbiasa dengan Liga Champions, sementara rivalitas sosio-politik sepakbola Castilia-Catalunya bisa mengubah Madrid jadi monster yang berbahaya.

Sore menjelang kick-off, kaki saya tidak terasa dingin. Perut baik-baik saja. Tidak mulas dan serasa mau muntah seperti yang biasa saya derita ketika tim kesayangan berlaga di partai-partai besar atau final. Tidurpun sangat pulas, sampai-sampai teman yang mengajak nonton bareng—anak muda penyorak tim dari Manchester, tapi bukan United—harus menelepon berkali-kali, memastikan saya bangun dan siap dijemput. Ini berbeda dengan, misalnya, setahun yang lalu ketika saya tak bisa tidur menjelang final Piala Dunia dan mengeluarkan sebaskom isi lambung sepanjang malam. Bahkan semalam terlintas di pikiran untuk mengajak Gerei, anak laki-laki saya yang berusia 5 bulan, menembus dingin dini hari jalanan Australia dan menikmati kemenangan indah Barca.

Saya tidak gelisah bukan karena barisan penyerang Barca saling mengisi, produktif dan bermain penuh pesona. Sid Lowe atau Daniel Taylor dari the Guardian atau Rob Hughes punya banyak kalimat bagus untuk mendeskripkan ketajaman dan pergerakan itu Barca punya trisula. Tim ini menenangkan hati bukan karena secara statistik lini belakangnya lebih solid, jarang kebobolan dari bola mati dan mengelak dari derita serangan balik. Anda hanya perlu singgah di laman ‘copy-paste’ ala pandit detiksport untuk tahu. Lagipula, untuk apa bersaing dengan analisa taktik Jonathan Wilson di majalah Champions tentang bagaimana Enrique menata skema pertahanan Barca dan mengarahkan umpan diagonal. Bahkan, tanpa membaca artikel dunia mayapun—yang sebagian bertele-tele dan sebagian lain menyegarkan—Anda sudah tahu bahwa tim ini lebih lengkap, adaptif dan dinamis, meskipun elegansi dan aura ‘aristokrat’ yang dipunyai era Guardiola sedikit menguap entah ke mana.

Yang membuat saya lega adalah: ini bukanlah tim sepakbola impian Catalunya yang congkak dan kelewat percaya diri, seperti yang pernah membuat banyak orang patah hati seperempat abad silam. Barca yang ini sedikit rendah hati. Dari penggalan tayangan pemanasan yang saya peroleh via streaming Sky Sport, tampak jelas kegugupan di wajah Messi. Ia sering menelan ludah sehabis melakukan lari jarak pendek. Sesekali matanya nanar, menatap langit-langit stadion. Tindak-tanduknya menunjukkan bahwa kegagalan final Piala Dunia telah merasuk ke sumsum dan menjadikannya sebagai manusia biasa. Di sudut yang lain, Pique meremas-remas genggaman tangan lalu menciumnya sesaat sebelum masuk arena. Hanya Alves dan Neymar yang bisa menyembunyikan tekanan dibalik senyum ceria Brazilia.

Kecuali untuk Rakitic, Suarez, Alba, Neymar, dan Stegen, semua pemain inti Barca telah mencecap final Champions yang kedua, ketiga, atau bahkan yang ke empat kali. Namun tetap saja mereka gelisah dan jantungan. Jelaslah para pengamat berlebihan dengan menganggap Messi berasal dari planet antah berantah di luar galaksi Bima Sakti atau Xavi adalah ilmuwan paling rasional dan dingin dalam permainan ini.

Yang jelas: mereka lebih pintar menggulirkan si kulit bundar—baik sebagai tim maupun individu. Ini bukan berarti Juventus tidak terampil atau bermain dengan naif. Bukan. Juve sangat cerdas secara taktik dan siap secara fisik. Alegri membuat Conte tampak seperti pelatih semenjana, dan membikin orang tidak lagi bicara tentangnya. Di tangan Alegri, Juve jauh lebih matang. Dari beberapa kali operan satu dua yang cepat, terlihat ia berhasil menanamkan sikap percaya diri sekaligus perhatian detil pada akurasi. Misalnya, bek dan gelandang Juventus secepat kilat mengumpan bola panjang ke rusuk kiri yang ditinggal pergi Jordi Alba. Di sana, Morata sudah menunggu bola dan langsung berhadapan satu-lawan satu dengan Mascherano. Remaja itu lebih ligat dan beberapa kali berhasil memperdaya Masche, membuat kita menggerutu mengapa Madrid menyia-nyiakan bakatnya. Di sebelah kiri, jangkauan kaki dan kelenturan bagian tubuh atas Pogba sesekali memancar dan mengindikasikan bakat besar. Kemampuan fisik serta ketrampilannya memindah arah serangan membuat Dani Alves bimbang mengambil keputusan menunggu momentum atau merangsek maju.

Hanya saja, sungguhlah sulit melawan sistem penguasaan klasik Barca. Kombinasi satu-dua sentuhan Busy, kehalusan dan kecerdikan Iniesta mengatur arah bola, serta kecerdasan Rakitic mencari ruang kosong membuat Pirlo, Vidal dan Marchisio seperti menjala angin yang melesat. Keunggulan satu gol tidak menggambarkan kualitas pertandingan. Itu hanya menunjukkan kebenaran komentator David Pleat yang dengan kering menyebut Gigi Buffon sebagai 'evergreen goalkeeper’. Terutama saat syaraf refleknya meminta tubuh rebah ke arah kanan, sementara otak kanannya secepat kilat memerintah tangan kirinya bergerak ke arah sebaliknya, menghalau sepakan jarak dekat Alves. Atau momen ketika ia dengan sigap membaca arah tendangan punggung kaki Suarez dari jarak kurang sepuluh langkah ke arah tiang dekat.

*****

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menonton tim dukungan berlaga di final dengan nyaman. Namun, tiba-tiba saja datang momen itu. Jordi Alba keliru membuat perhitungan, dan sentuhan tumit Marchisio (satu-satunya yang bisa kita ingat darinya malam itu) mengubah arah lari Leichsteiner. Tepat saat orang Swiss itu menekuk bola dengan bagian dalam kaki kanannya, Tevez membalik badan dan menyambar bola menyusur tanah dengan kaki kiri tepat ketika bahu kirinya mengerahkan daya tolak. Stegen berhasil memblok bola yang dipotong dan digunting dari arah di mana ia datang. Apa daya, taktik sepakbola Italia dengan menempatkan seorang penyerang di garis ofset untuk menerima pantulan masih berguna! Morata menunjukkan pilihannya bermain di Italia tidak keliru. Ia punya insting pemburu yang bertahun-tahun tinggal dalam kepala Inzaghi. Ia juga punya kemampuan meraba arah bola dan arah nasib.

Pertandingan final mulai. Keringatan hangat mulai mengalir, tapi ini bukan karena semangkup sup, saksang dan sambal pedas kemiri campur andaliman yang saya tuntaskan di tengah jeda. Tentu saja tubuh saya menghangat karena makanan Batak itu dimasak penuh perasaan dan sepenuh hati dengan takaran bumbu yang pas oleh kawan Reinhard Sirait. Hanya saja, tubuh tiba-tiba lembab karena game plan Italia racikan Alegri yang diam-diam saya reka-reka sendiri dan takuti bekerja dengan baik.

Sulit menterjemahkan frasa dalam bahasa Inggris Italian Job ke dalam bahasa Indonesia, tapi Anda pasti tahu maksud saya. Dan ini bukann kali pertama. Kedewasaan Juventus bermain sudah terasa selama dua pertandingan semifinal. Meskipun tertinggal dan dalam posisi tidak menguntungkan, mereka bermain penuh percaya diri, tidak panik, dan sedikit membikin kesalahan, Tevez turun ke dalam, sementara Morata selalu berhasil memenangi duel dan memberi bola pantulan. Vidal seperti seorang perwira perang yang langsung turun bertempur di medan perang, berlari ke sana kemari penuh tenaga dan tipu daya. Plot permainan dirancang lewat skenarion yang matang. Mungkin mereka tidak yakin akan mencetak gol atau menang, tapi mereka tahu cara mengolah tempo pertandingan.

Saya melihat secercah kedewasaan itu selepas kedudukan imbang. Mereka tidak buru-buru. Dengan telaten, mereka menunggu Barca melakukan kesalahan, mengubah arah bola dan membuat serangan kejutan. Mereka teguh dengan prinsip menekan setinggi mungkin, tetapi jarang melepas umpan panjang. Berapa kali Anda melihat Buffon melepas tendangan gawang langsung ke pemain depan? Meskipun Vidal terlalu berangasan, Bonucci dan Barzagli hampir tidak terlihat membuat kecerobohan. Jarak antar pemain rapat, sementara duet pemain depan selalu berusaha mengoyak dan merentangkan ruang.Tatkala Pirlo mulai mengambil momentum, pemain Barca bingung mencari bola dan terlihat linglung. Periode ini adalah yang periode yang membuat saya menderita.

Coba bayangkan pemain Barca bergerak tanpa menguasai bola! 

Imajinasi saya seketika melayang duapuluh satu silam ketika Guardiola dan kawan-kawan berlari pontang-panting ke semua sudut lapangan untuk mendapati bola sudah dioper Maldini ke Desailly dilanjutkan ke Boban lalu menuju Savicevic dan berakhir di jala Zubizareta setelah digulirkan oleh Massaro. Semakin keras pemain lini tengah Barca merebut bola, semakin sering mereka menemukan pemain Milan telah jauh meninggalkannya. Imajinasi itu bertaut dengan masa-masa ketika Messi mulai menunduk dan Suarez berlari menuju ruang hampa. Selama beberapa menit, bola menjadi liar di kaki Busy dan Iniesta, dan itu menghasilkan umpan-umpan yang kerap salah sasaran. Bahkan, untuk sekian waktu, Messi tidak menyentuh si kulit bundar sementara kuartet Juve mulai mengatur suhu permainan.

Bagi penggemar Barca yang sedikit-banyak membaca sejarah klub ini, Anda akan memahami trauma sejarah sepakbola  Dalam kalimat Franklin Foer atau Sid Lowe, sejarah Barca adalah sebuah perulangan atas “melankolia kegagalan dan romantisme destruktif”. Hal buruk yang pernah dialami Barca akan kembali berulang dengan jauh lebih buruk—saya menulis versi pendeknya dengan judul “Madre Mia!” di blog ini. Kalah tipis (adu penalti) di final Piala Champions 1961 diulangi dengan kegagalan final 1986—dengan seluruh penendang penalti gagal menceploskan bola. Untunglah saya tahu periode itu dari tulisan orang sehingga tidak memiliki ikatan kuat dengan tahun-tahun Barca sebelum saya lahir dan disunat. 

Namun untuk memori kelam Barca yang lain, saya ingat sampai ke rinciannya. Ijinkan saya sebentar untuk bernostalgia.

*****

Seminggu sebelum final Milan-Barca di Athena 1994, saya selalu bangun pagi-pagi. Bukan untuk lari pagi yang disarankan emak saya, pergi ke masjid yang selalu diminta bapak saya atau membeli lontong sayur di dekat rumah seperti yang saya inginkan sendiri. Selama seminggu berturut-turut, sebelum matahari naik saya langsung menuju puskesmas untuk meminjam lembar Olahraga harian Jawa Pos. Perawat desa yang tugas di puskesmas itu memiliki suami (Pak Katno namanya) yang penggemar berat kisah-kisah Bondet, Susan, dan Cipluk di kolom Opo Maneh Jawa Pos. Keluarga perawat itu menganggap saya bagian dari keluarganya. Kalau bosan mengaji, saya pasti ke rumah mereka yang menyatu dengan bangunan puskesmas untuk membaca majalah Bobo milik anak bungsu, majalah Aneka atau Gadis milik dua anak gadis remajanya, atau terkadang hanya untuk makan malam bersama mereka.

Tukang koran datang duluan dari jam bangun bapak itu. Saya menyisihkan halaman pertama hingga dua belas untuknya. Lantas, saya menaruh bagian olahraga di dalam tas sekolah di antara buku catatan pelajaran. Dua kali jeda istirahat cukup untuk membaca habis seluruh ulasan olahraga.

Saat itu Jawa Pos adalah yang terbaik. Mereka juga sangat dermawan dengan membuat 12 halaman olahraga (8 halaman khusus untuk sepakbola). Saya menemukan idola masa remaja Rayana Djakasurya atau sesekali mencari laporan balapan yang dimenangi Aryton Senna dari Ramadhan Pohan. Pekan itu, Rayana menulis laporan pandangan mata langsung dari Yunani. Ia menulis banyak pernak-pernik terkait final akbar tersebut, mulai dari penyambutan fans di Bandara, hotel tempat menginap ke dua tim, profil Capello dan Cruijf, perkiraan susunan pemain, stadion dan rumput lapangan. Ada juga kutipan pendapat pemain-pemain timnas, anggota Primavera dan klub-klub liga Dunhil tentang duel ini. Saya ingat, Bima Sakti menjagokan Milan sementara Fachri Husaini membela Barca.

Kebetulan, Milan dan Barca adalah dua kekasih saya sejak masa kanak, pada masa puber, dan tentu saja hingga sekarang—selain Manchester United. (Saya akan menuliskan kisah tim-tim hebat ini dan kenikmatan serta pahala si “pemburu kemenangan” lain waktu saja). Jika pernah mendengar istilah the Dream Team untuk klub sepakbola mereka adalah keduanya.

Barca dan Milan disebut sebagai dua tim impian—juga impian remaja manapun yang menyukai sepakbola indah. Meneruskan kerja Sacchi, tangan dan wajah dingin Capello menjadikan Milan sebagai mesin kemenangan. Dengan uang hasil kejayaan televisi, Berlusconi menambahkan pemain terbaik Eropa—sedikit di antaranya adalah Boban, Savicevic, Papin, Desailly—ke dalam skuat yang sudah punya Maldini, Baresi, Custacurta, Donadoni, Albertini. Tim ini empat kali Scudetto berturut-turut dan tiga kali mencapai final champions di awal 90an.

Sementara itu pantai barat Mediterania, Cruijjf menyulap tim 'destruktif' menjadi Total Voetbal versi Spanyol. Ia merestukturisasi akademi dan mengambil Ajax 70an sebagai model. Namun, ia juga menambahkan kombinasi 'susu basi' dan 'roti selai' dalam diri Stoichkov dan Romario untuk mengekskusi pergerakan cepat bola yang diatur oleh anak-anak akademi La Masia—Guardiola, Bakero, Sergi, Abelardo, Ferrer. Mereka 4 kali juara La Liga berturut-turut (1991-1995) dan berhasil melampaui kutukan final Champions dua tahun sebelumnya di Wembley.

Saat itu posisi saya lebih condong ke Barca. Saya membaca artikel saduran tentang Michael Laudrup dan gaya bermain Barca yang ditulis oleh wartawan Inggris—saya tidak ingat persis, tapi mungkin saja itu Simon Kuper—dan merasa jatuh hati dengan orang Denmark itu. Suara Rayana berusaha membela Milan, barangkali karena tugasnya sebagai pegawai konsulat Indonesia di Roma sedikit memberinya perasaan memiliki tim Italia. Lebih dari itu, satu kaki Milan teramputasi. Baresi dan Costacurta tidak bisa bermain di final karena akumulasi kartu. Setelah bertahun-tahun melihat sosok Baresi yang dengan jenius menggalang pertahanan dan memulai penyerangan akan absen, bisa dimengerti bahwa keyakinan saya terhadap klub ini sedikit goyah. Capello berinovasi dengan memindahkan Desailly dari gelandang bertahan ke bek tengah, mendampingkannya dengan Maldini. 

Satu laporan Rayana di Jawa Pos di edisi Minggu, tiga hari sebelum duel, masih tertanam di kepala. Dengan hidup dan penuh nuansa, Rayana membuat deskripsi latihan Barca. Ia menggambarkan situasi yang sangat rileks, tanpa tekanan, dan terkesan meremehkan. Ia menyitir ucapan Cruijf yang dengan jumawa mengatakan bahwa anak didiknya tak perlu latihan untuk merebut piala. Alih-alih mengatur taktik dan menyiapkan kondisi fisik, ia justru mengajak para pemain taruhan. Dua hari menjelang final, Ia menyuruh pemainnya menaruh bola di titik penalti. Bukan, ia tidak sedang menyiapkan skenario adu tos-tosan. Ia justru menantang duel setiap pemain untuk mengincar mistar dan tiang gawang. Siapa yang berhasil melakukanny akan mendapat seratus peso. Tidak ada yang berhasil kecuali dua kali tendangan Stoichkov dan Felix yang mengenai mistar.

Artikel-artikel Jawa Pos membangun drama dan menyiapkan suasana sebelum saya menonton siaran langsung yang saya nikmati lewat televisi berwarna Panasonic--yang baru saja dibeli dari hasil patungan uang dua kakak saya yang memburuh di Malaysia dan menjual es lilin di Maluku Utara. Saat itu saya terlalu kecil untuk jeli memperhatikan gestur para pelatih dan pemain sebelum pertandingan. TVRI punya dana dan jam tayang terbatas, sehingga tidak ada kemewahan satu jam preview pertandingan dan tetek bengek ritual televisi yang kini nyaris lebih heboh dari pertandingan itu sendiri. Saya juga sudah lupa apa yang dikatakan oleh Edy Sofyan dan Max Sopacua tentang pertandingan itu—Sofyan jelas membela Milan karena van Basten, pemain kesayangannya, bermain untuk klub itu.

Saya menonton sendirian, diam-diam. Bapak saya akan memukul kaki saya dengan sapu lidi atau menyiram dengan air tajin jika saya akan melewatkan shalat subuh karena kurang tidur sehabis begadang. Emak saya yang pengertian terbangun duluan untuk menyiapkan dagangan dan menyuruh saya untuk mengecilkan suara. Dalam kesunyian itu, saya mengigil dan terisak selama hampir 90 menit. Anda sudah tahu semua: Barca nyaris tidak pernah mampu mendekati kotak penalti atau mengarahkan tendangan ke gawang Sebastiano Rossi. Bahkan mereka jadi iwak-iwakan Savicevic dan Boban. Maldini memerankan kepemimpinan tiada duanya dan Milan memainkan salah satu sepakbola terbaik yang secara langsung pernah saya saksikan.

Saya hanya mengingat tatapan kosong Cruijf dan orang di sampingya (kemudian saya tahu itu Carles Rexarch) yang terus mengusap-usap kepala setiap Milan mencetak gol. Barca tak berdaya dan kalah segalanya. Kelak, lewat Sid Lowe dan Graham Hunter, kita tahu bahwa kesombongan Cruijf menelan semuanya. Apa yang terjadi sebelum dan sesudah final membuat Cruijf dan proyek tim impian Barca kehilangan segalanya. Zubizaretta pergi dan Guardiola menangis meratapi kepergiannya. Laudrup—yang tidak dimainkan di final karena aturan 3 pemain asing—menyeberang ke Madrid, Cruijf dipecat dengan cara yang brutal dan tim impian itu terbangun dari mimpi yang paling buruk.

******

Meskipun gol cepat Rakitic semakin meyakinkan saya bahwa momentum pertandingan menguntungkan Barca, gol balasan Juve membawa saya pada keyakinan Paolo Bandini akan keuntungan atas absennya Chiellini. Tiba-tiba semua harapan Bandini seolah menjelma nyata. Bonucci dan Barzagli benar-benar lebih 'teknikal’ dan efektif dari pada tenaga besar Chiellini. Pogba lebih percaya diri dan Marchisio-Pirlo lebih jitu dalam memainkan tempo lambat. Barca kehilangan momentum untuk melakukan serangan balik. Evra pelan-pelan mengunci Messi dalam sudut sempit di sayap kanan, sementara Lichsteiner lebih sering naik tanpa cemas Neymar akan mendapat banyak ruang. 

Lebih dalam dari itu, hati kecil saya segera menautkan paralelitas antara absennya Baresi dan Chielini dan cara bermain Juve dan Milan 1994 dalam menghadapi Barca. Horor kepergian Zubizaretta dari Nou Camp terulang musim ini. Selama sepuluh menit, kaki saya mendingin tapi tubuh saya terserang demam. Rasa lada Tapanuli yang tersisa di lidah semakin terasa mengigit. Kawan sepertontonan Jemi Irwansyah, mahasiswa ‘Marxis’ yang percaya bahwa Messi bukanlah manusia melainkan Jin Iprit dari kawasan Pampa Santa Fe Argentina, mulai mendesah dan dengan jitu mengamati bahwa Barca terbawa arus permainan Juve. Sementara anak muda penggemar tim Manchester bukan United yang menjemput saya ikut-ikutan bersorak-sorai. Josh nama anak muda itu berkali-kali mengumpat dan berteriak sampai-sampai membangunkan teman kostnya yang sedang bermimpi Persib memenangi Piala Champions Asia dan Umuh Muchtar kawin lagi.

Sepanjang sepuluh menit itulah adrenalin saya mengalir deras. Perut mual, dan lambung ikut-ikutan berontak. Kaki semakin dingin tapi badan semakin panas. Ada sedikit rasa cemas bahwa Juve akan mengontrol bola sampai menit-menit akhir dan menuntaskan pertandingan seperti seharusnya tim Italia. Di sisi lain, saya mengalami sensasi bahwa saya sedang menonton final liga Champions, sebuah peristiwa tahunan yang memilin drama, sejarah, kerja keras, rivalitas, dalam keindahan permainan sepakbola. Semua atribut dan adjektif yang bisa dilekatkan ke dalam sepakbola—paling tidak di level klub—dapat Anda temukan dalam final ini.

Seiring detak urat nadi mengeras, gemuruh suara Juventini juga mulai membahana. Televisi dengan pintar memainkan perasaan. Kamera mulai sering menyorot laki-laki brewok dan gadis-gadis sintal berkaus Del Piero atau mengibarkan bendera Italia. Gerak lambat Buffon yang berlari dengan tangan terkepal mengingatkan Berlin 2006. Berkelebat bayangan final Athena.....

Untunglah, final itu hanya berlangsung sampai menit 68! Inisiatif dan pergerakan Messi mencari ruang yang ditinggalkan Barzagli diakhiri dengan kecermatan membaca bola pantul oleh Suarez. Gol itu meredakan kecemasan dan mengubah arah serta tegangan pertandingan. Secara drastis, mood permainan kembali normal, begitu juga aliran bola. Suarez mencetak gol untuk kota yang membawa Sofia dan menuntaskan dongeng pemuda Uruguay tonggos dan miskin yang memperjuangkan cinta lewat sepakbola dengan sebuah pergerakan magis.

Kamera kembali mengayun emosi. Enrique berlari girang dan membetulkan ikat pinggang. Asistennya memanggil pemain cadangan dan Xavi segera berdiri siap mengotrol irama permainan. Tiap selesai ditekel, wajah Suarez yang meringis antara menahan rasa sakit dan mengulur waktu muncul dalam jarak dekat. Gambar pendukung Juve memegang kepala dan menggigit kuku berseliweran. Bendera-bendera bergaris merah-kuning berkibaran.

Bagi penonton "netral", bandar judi, dan pemasang iklan, drama 90 atau 120 menit adalah final ideal. Namun, saya yakin bahwa fans jujur tidak akan ada yang mau menderita jantungan sepanjang pertandingan. Mereka pasti tidak menikmati masa-masa ketika timnya berada sejengkal dari resiko kekalahan. Apalagi bagi pendukung Barcelona yang punya momok sejarah kelam. Jelas saya tidak ingin menangis sendirian seperti duapuluh satu silam. Cukup pendukung Atletico Madrid atau Bayer Munich yang dihantui oleh sejarah. \

Sepuluh menit adalah waktu yang cukup buat Juventus untuk menunjukkan bahwa mereka datang ke Berlin dengan mental yang matang dan keyakinan yang kuat—bukan sebagai tim yang turun ke pertahanan dan menunggu serangan balik versi Inter Milan. Sepuluh menit itu adalah obat duka lara bagi para penggemarnya—hati kecil mereka bicara bahwa ini adalah tahunnya Barca. Meskipun begitu, mereka juga tahu bahwa ada menit-menit yang pantas dirayakan. Saya menikmati sepuluh menit itu, sepuluh menit yang pantas dirasakan, suatu waktu yang menempatkan masa silam dan kekinian; waktu sekarang yang menarik lapisan-lapisan sejarah dan pengalaman sepakbola.

Itu adalah sepulu menit masa final sesungguhnya: suatu periode yang menghadirkan ambang batas antara kalah dan menang. 

No comments:

Post a Comment